Penelitian Lintas Budaya


PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Parlindungan Pardede
Universitas Kristen Indonesia

Pendahuluan
Peningkatan hubungan antarpribadi, antarkelompok maupun antarbangsa yang dipicu oleh kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi sejak ratusan tahun lalu membuat kebutuhan untuk memahami kebudayaan orang atau komunitas lain yang mereka temui dengan tujuan mencegah kesalahpahaman dan konflik meningkat. Para pedagang, diplomat, tentara, maupun mahasiswa yang harus berinteraksi, bertugas, atau tinggal bersama komunitas dengan budaya yang asing karena tuntutan pekerjaan maupun studi mereka sering menemukan masalah-masalah yang timbul karena perbedaan budaya. Untuk menjawab tantangan ini, para ilmuan menggagas kajian perbandingan terhadap sifat-sifat manusia melalui penelitian terhadap kebudayaan-kebudayaan yang ada dengan melibatkan sebanyak mungkin disiplin ilmu yang relevan. Gagasan untuk meningkatkan pemahaman atas konflik antar etnis dan masalah-masalah global yang dipicu oleh keanekaragaman budaya dunia dengan menggunakan strategi inter dan multidisipliner inilah yang menjadi cikal bakal kajian lintas budaya (KLB) yang dalam bahasa Inggris disebut cross-cultural studies (atau lebih sering disebut dengan cultural studies saja).
Makalah ini berfokus pada penelitian lintas budaya sebagai landasan untuk memahami bagaimana materi-materi yang digunakan dalam program-program pemahaman lintas budaya diperoleh oleh para ilmuan. Pembahasan diawali dengan menguraikan hakikat dan sejarah singkat crosscultural studies sebagai titik tolak. Setelah itu pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan tentang metodologi penelitian lintas budaya dan diakhiri dengan uraian singkat tentang beberapa penelitian lintas budaya terkini sebagai contoh.

Hakikat Kajian Lintas Budaya
Istilah “cross-cultural studies” muncul dalam ilmu-ilmu sosial pada tahun 1930-an yang terinspirasi oleh cross-cultural survey yang dilakukan oleh George Peter Murdock, seorang antropolog dari Universitas Yale. Istilah ini pada mulanya merujuk pada kajian-kajian komparatif yang didasarkan pada kompilasi data-data kultural. Namun istilah itu perlahan-lahan memperoleh perluasan makna menjadi hubungan interaktif antar individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda (Wikipedia, 2008c). Dalam konteks pengertian pertama, penelitian lintas budaya merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di bidang politik, ekonomi, komunikasi, sosiologi, teori media, antropologi budaya, filsafat, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa bentuk kajian dalam konteks ini. Dalam konteks pengertian kedua, penelitian lintas budaya diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara individu-individu dari berbagai kelompok budaya yang berbeda. Kajian lintas budaya dalam perspektif ini mengambil interaksi manusia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati karena, sebagaimana halnya dengan pemahaman antropologis yang memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life). Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang ‘spektakuler’saja. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, maupun dialami dalam interaksi sehari-hari oleh dua atau lebih individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan cross-cultural studies. Kajian lintas budaya kontemporer cenderung termasuk ke dalam “cross-cultural studies” dengan makna kedua di atas.
Penggunaan kata majemuk ‘studies’ dalam penamaan crosscultural studies menyiratkan sikap dan ‘positioning’ para penggagas yang tidak puas terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak dan saling mengklaim kebenaran. Padahal lambat laun disadari bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan secara sendiri-sendiri bersifat parsial dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan di kalangan masyarakat secara komprehensif. Kondisi inilah yang mendorong ilmuwan memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk memahami fenomena-fenomena kultural dalam realita kehidupan masyarakat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan masyarakat. Wikipedia (2008d) menyatakan:
Cultural studies is an academic discipline which combines political economy, communication, sociology, social theory, literary theory, media theory, film/video studies, cultural anthropology, philosophy, museum studies and art history/criticism to study cultural phenomena in various societies. Cultural studies researchers often concentrate on how a particular phenomenon relates to matters of ideology, nationality, ethnicity, social class, and/or gender.

Sejarah Singkat Kajian Lintas Budaya
Menurut Wikipedia (2008c), kajian lintas budaya pertamakali dilakukan oleh Abū Rayhān Bīrūnī yang menulis kajian-kajian antropologis bandingan di bidang agama, kemasyarakatan, dan kebudayaan di Timur Tengah, Mediterania, dan khususnya di India. Dia menyajikan temuan-temuannya secara objektif dan netral dengan menggunakan metode perbandingan kebudayaan.
Kajian lintas budaya yang ekstensif kemudian dilakukan pada akhir abad ke-19 oleh beberapa antropologis, seperti Tylor dan Morgan. Mereka memanfaatkan data-data tentang berbagai kebudayaan yang dihimpun oleh banyak pihak dari berbagai penjuru dunia, seperti missioner, petualang, atau pegawai-pegawai kolonial (Wikipedia, 2008c). bahan-bahan itu kemudian diorganisasikan dan dibandingkan untuk memahami ciri-ciri masyarakat manusia.
Kajian lintas budaya modern diawali oleh George Peter Murdock (1897-1985) yang terkenal dengan kajian perbandingan system-sistem dan analisis kajian lintas budaya tentang keteraturan danperbedaan-perbedaan yang terdapat diantara masyarakat yang berbeda. Dia mempelopori penggunaan pendekatan empiris terhadap antropologi melalui kompilasi data berbagai kebudayaan mandiri dan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik yang sesuai. Murdok memandang dirinya lebih sebagai ilmuwan sosial yang tetap menjalin kemitraan dengan para peneliti di bidang ilmu lainnya daripada antropolog. Menurut Gillies (2005), sambil mengajar di Universitas Yale, selama tahun 1930-an hingga 1940-an Murdock mengembangkan beberapa kompilasi data kultural mendasar, termasuk “Cross Cultural Survey” yang kemudian lebih dikenal dengan Human Relations Area Files (HRAF) dan Ethnographic Atlas. Saat ini, HRAF merupakan sebuah index berbagai lembaga etnografi dunia. HRAF sekarang dapat diakses dilebih dari 250 perpustakaan institusional di seluruh dunia.
Berdasarkan keyakinannya bahwa kompilasi data kultural yang disusunnya akan lebih bermanfaat bila para peneliti dari luar Universitas Yale, pada tahun 1948, Murdock mengajukan pembentukan sebuah organisasi inter-universitas kepada Social Science Research Council. Dengan bantuan dana dari badan tersebut, Murdock mendirikan Human Relations Area Files yang koleksinya ditempatkan di Universitas Yale. Pada tahun 1969, Bersama Douglas R. White, Murdock membuat sampel kajian lintas budaya standar (Standard Cross-Cultural Sample) yang dipakai secara luas di bidang kajian budaya. Sampel itu terdiri dari dokumentasi 186 kebudayaan yang saat ini diprogram dalam bentuk  2000 variabel yang hingga saat ini dapat diakses pada jurnal elektronik World Cultures.

Metodologi Kajian Lintas Budaya
Seperti telah disinggung sebelumnya, kajian lintas budaya mengambil interaksi sehari-hari manusia dengan latarbelakang kebudayaan berbeda sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Kajian lintas budaya dilandaskan pada asumsi dasar bahwa kontak, persinggungan atau pergesekan antar budaya yang memicu proses inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah budaya asli. Melalui analisis bandingan terhadap berbagai unsur yang terlibat dalam kontak antar individu dengan kebudayaan berbeda diharapkan dapat menghasilkan: (1) generalisasi induk dan orisinalitas budaya, seperti tujuan penelitian Tylor dan antropolog lainnya; dan (2) pemahaman tentang proses evolusi dan difusi budaya, yang menjadi fokus utama kajian lintas budaya kontemporer.
Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan pertama di atas dilandasi pada paham positivistik dan biasanya membutuhkan sampel yang cukup besar. Dengan menggunakan metode etnografis, data dijaring tidak hanya dari satu wilayah tetapi juga dari luar wilayah budaya yang bersangkutan. Kajian seperti inilah yang dilakukan Murdock (Wikipedia, 2008e) ketika dia mencoba mencari korelasi budaya hubungan kekerabatan patrilineal dan matrilineal. Dia mencari seberapa jauh korelasi antar variabel, seperti mata pencaharian, kemampuan membuat tembikar, menenun, keahlian sebagai tukang, dan stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia mengkaji masalah “rasa tak sehat”, bahwa dalam kebudayaan di dunia ternyata “rasa tak sehat” berbeda dengan “rasa sakit”. Dari hasil-hasil analisi data, biasanya diperoleh kesimpulan tentang adanya “culture area”, atau sebuah golongan budaya berdasarkan wilayah geografisnya. Sebagai contoh, menurut Endraswara (dalam Prasetia, 2007), Wissler sempat membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi sembilan culture area. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti budaya di Indonesia, sehingga ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa, etnografi Sunda, dan sebagainya.
Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan kedua di atas menggunakan studi komparatif dalam rangka merekonstruksi kemiripan budaya, proses evolusi, serta transformasi budaya masa kini. Rekonstruksi akan menggambarkan aspek historis dan homogenitas. Tujuan yang dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan budaya pada masing-masing daerah. Untuk mencapai tujuan itu, perbadingan diarahkan pada tiga hal pokok: (1) persepsi, yaitu bagaimana tanggapan pelaku budaya satu dengan yang lain ketika menerima dan atau menolak budaya yang hadir, (2) kognisi, yaitu membandingkan pola pemikiran pendukung budaya masing-masing, (3) kepribadian dan jati diri, yaitu memban-dingkan kepribadian dan jatidi pemilik budaya masing-masing. Dari berbagai hal yang dibandingkan ini, peneliti akan mencari korelasi atau hubungan kemiripan. Hubungan tersebut akan memben¬tuk varian-varian budaya satu sama lain, sehingga dapat ditentukan mana budaya transformasi dan mana budaya yang asli Endraswara (dalam Prasetia, 2007).
Mengingat luasnya ruang lingkup dan banyaknya unsur maupun disiplin ilmu yang terlibat dalam kajian lintas budaya, metode penelitian yang ’fixed’ untuk digunakan dalam bidang ini tidak dapat ditentukan. Home/FAQ (2006) menegaskan: “There is no such thing as “the cultural studies method,” and there is no single or simple answer to the question of how to do cultural studies. Hal ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa kajian budaya merupakan studi yang kontekstual, dengan pengertian bahwa pertanyaan apapun yang dicoba dijawab biasanya membutuhkan berbagai pendekatan dan metode yang tersedia.  Di satu penelitian, analisis atas data yang diperoleh dari berbagai teks mungkin sudah memadai. Pada penelitian lain, metode etnografi yang utuh mungkin dibutuhkan; sedangkan penelitian yang lain lagi membutuhkan metode perpaduan beberapa metode. Sehubungan dengan hal ini, yang dibahas dalam makalah ini dibatasi hanya pada metode-metode penelitian lintas budaya yang paling lazim digunakan, yaitu: etnografi, folklore, etnometodologi, etnosains interaksi simbolik, dan grounded theory. Secara umum materi penjelasan tersebut diadaptasi dari Prasetia (2007).

1. Etnografi
Etnografi adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan kebu¬dayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristi¬wa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Studi ini terkait dengan bagaimana subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa unik—yang jarang teramati oleh kebanyakan orang. Penelitian etnografi merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial, peristiwa dan kejadian unik dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat.
Penelitian etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, kon¬struktif, transferabilitas, dan subyektif. Selain itu, etnografi juga lebih mene¬kankan teknik idiografik yang dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan budaya dan tradisi yang ada.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan berperan serta (partisipant observa¬tion). Sehubungan dengan itu, peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi—berasal dari kata ’ethno’ (bangsa) dan ‘graphy’ (menguraikan atau menggam¬barkan)—yaitu ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari.
Etnografi pada hakikatnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Uraian tersebut kemudian akan mengungkapkan pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Selain analisis data yang dilakukan secara holistic–bukan parsial, ciri-ciri lainnya dari penelitian etnografi adalah: (a) sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari; (b) peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data; (c) bersifat pemerian (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan; (d) digunakan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus; (e) analisis bersifat induktif; (f) di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan pertama; (h) kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis); (i) orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan, serta teman sejawat; (j) titik berat perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang yang diteliti, dan bukan dari etik, (k) dalam pengumpulan data menggu¬nakan purposive sampling dan bukan probabilitas statistik; (1) dapat menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan kualitatif.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupa¬kan model penelitian budaya yang khas. Etnografi memandang budaya bukan semata-mata sebagai produk, melainkan proses.  Harris (dalam Prasetia, 2007) menegaskan bahwa kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah sistem sosial. Kebudayaan tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan keseluruhan institusi hidup manusia dan sekaligus merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya tingkah laku. Oleh sebab itu, etno¬grafi memberi perhatian pada hakikat kebudayaan sebagai pengeta¬huan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpreta¬sikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.
Penentuan sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis yaitu: (1) seleksi sederhana, artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja, misalkan kriteria umur atau wilayah subyek; (2) seleksi komprehensif, artinya seleksi bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan; (3) seleksi quota, seleksi apabila populasi besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan beberapa kelompok misalnya menurut pekerjaan dan jenis kelamin; (4) seleksi menggunakan jaringan, seleksi menggunakan informasi dari salah satu warga pemilik budaya, dan (5) seleksi dengan perbandingan antarkasus, dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada, sehingga diperoleh ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki pengalaman khas.Dari lima cara tersebut, peneliti budaya model etnografi dapat memilih salah satu yang paling relevan dengan fenomena yang dihadapi. Meskipun demikian, seleksi secara komprehensif dipandang lebih akurat dibanding empat kriteria seleksi yang lain. Melalui seleksi secara komprehensif, peneliti akan mampu menentukan langkah yang tepat sejalan dengan apa yang diteliti. Yang lebih penting lagi, jika harus mengambil sampel, sebaiknya dilakukan secara pragmatik dan bukan secara acak. Peneliti perlu mengetahui konteks masyarakat yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya.

2. Kajian Folklore
Istilah folklor berasal dari kata folk, yang berarti ’kolektif’, dan lore, yang berrti ’tradisi’. Jadi, folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat.  Menurut Dundes (dalam Prasetia, 2007), folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok yang lainnya.  Ciri fisik, antara lain berujud warna kulit. Ciri lain yang tidak kalah pentingnya adalah mereka memiliki tradisi tertentu yang telah turun-temurun. Tradisi inilah yang sering dinamakan lore. Tradisi’ semacam ini yang dikenal dengan budaya lisan atau tradisi lisan. Tradisi tersebut telah turun-temurun, sehingga menjadi sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi pendukungnya. Folklor adalah milik kolektif kebudayaan.
Dalam kaitannya dengan budaya, folklor memiliki beragam bentuk. Pakar yang berbeda memberikan ragam yang berbeda (Prasetia, 2007). Menurut Bascom, misalnya, folklor terdiri dari budaya material, organisasi politik, dan religi.  Menurut Balys, folklor terdiri dari kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, dll. Menurut Espinosa folklor terdiri dari: kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos, magi, ilmu gaib dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sebenarnya banyak menarik peneliti budaya melalui kajian folklor.
Seabagai patokan tentang apakah unsur-unsur itu merupakan obyek kajian folklor atau bukan, Dananjaya (dalam Prasetia, 2007) mengusulkan sembilan kriteria berikut. Pertama, penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut, dan kadang-kadang tanpa disadari. Kedua, bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam waktu relatif lama dan dalam bentuk standar.Ketiga, folklor ada dalam berbagai versi-versi atau varian. Keempat, folklore bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti. Kelima, folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Keenam, mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif. Ketujuh, bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang tidak tentu sesuai dengan logika umum. Kedelapan, merupakan milik bersama suatu masyarakat. Kesembilan, bersifat polos dan lugu
Tahap-tahap penelitian folklor, sebenarnya cukup simpel, yaitu: pengumpulan data, pengklasifikasian, dan penganalisisan. Tahap¬ tahap ini, tentu didahului prapenelitian yang bermacam-macam, antara lain perlu persiapan matang dan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan pemiliki folklor. Dengan cara terjun langsung ke kancah folklor, peneliti akan mengambil data asli dan bukan sekunder. Tentu saja, sulit tidaknya data digali dan memakan biaya banyak atau sedikit perlu dipertimbangkan masak-masak. Lebih penting lagi, peneliti folklor perlu membangun jalinan yang akrab dengan subyek penelitian. Jika tidak, kemungkinan besar folklor yang berhubungan dengan kepercayaan rahasia akan sulit terungkap. Padahal, folklor demikian justru ditunggu oleh pembaca. Hal ini berarti hubungan antara peneliti dan subjek penelitian sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian. Jika hubungan terkesan kaku dan ada unsur kecurigaan, berarti ada tanda-tanda bahwa penelitian kurang berhasil.

3. Etnometodologi
Etnometodologi adalah metode kajian modern yang banyak diterapkan pada ilmu sosial. Namun, dalam kajian budaya metode ini sering digunakan. Etnometodologi dipelopori oleh Harold Garfinkel (Muhadjir, 2000:129). Model penelitian ini merupakan cara pandang kajian sosial budaya masyarakat sebagaimana adanya. Jadi, dasar filosofi metode penelitian ini adalah fenomenologi, yang memandang “pengertian dan penje¬lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108).
Etnometodologi menitikberatkan bagaimana pendukung budaya memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Penelitian diarahkan untuk mengungkap bagaimana seorang individu maupun kelompok memahami kehidupannya. Subjek penelitian tak harus masyarakat terasing, melainkan masyarakat yang ada di sekitar kita. Bagaimana orang atau suatu kelompok memandang budayanya, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Dengan kata lain, etnometodologi lebih banyak untuk mengung¬kap budaya dalam konteks interaksi sosial. Dalam hal ini, bahasa sebagai medium interaksi pun perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Tiap-tiap pemilik budaya biasanya memiliki bahasa khas sebagai medium interaksi sosial. Sehubungan dengan itu, realita menjadi suatu hal yang sangat penting bagi model ini.
Etnometodologi termasuk kajian yang berlandaskanpada postpositivistik. Paradigma yang dibangun oleh paham ini senada dengan etnosains yang berusaha mendeskripsikan budaya, tradisi, keyakinan, masyarakat itu sendiri. Kesadaran pemilik budaya tentang miliknya menjadi pangkal tolak etnosains.

4. Etnosains
Etnosains adalah salah satu teori penelitian budaya yang relatif baru. Kata etnosains berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti ’bangsa’, dan Latin scientia artinya ’ilmu’. Jadi, secara etimologis etnosains berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya, sedangkan dalam konteks kajian lintasbudaya, etnosains merupakan ilmu yang mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya tertentu. Tekanannya adalah pada pengetahuan asli dan khas suatu komunitas budaya.
Menurut Haviland (dalam Prasetia, 2007), etnosains adalah cabang pengka¬jian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Ditinjau dari pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru (the new ethnography). Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya di luar Barat justru akan mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus mengadopsi teori budaya Barat yang belum tentu relevan.
Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau folk. Pangkal kajian selalu berpusat pada pemilik budaya. Dengan demikian, budaya tidak lagi dipandang dari aspek peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris pemilik. Budaya diangkat berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan mereka benar atau keliru, tepat atau tidak tepat, dan seterusnya. Tugas peneliti lebih mengarah pada upaya menjelaskan kepada publik tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertu¬gas mensistematiskan pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian.
Kehadiran etnosains, menurut Putra (dalam Prasetia, 2007), me¬mang akan memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian budaya. Oleh karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan kajian etnosains.
Pengumpulan data dalam etnisains tidak berbeda dengan penelitian etno¬grafi, yaitu dengan menggunakan pengamatan dan wawancara. Setelah data terkumpul, pengklasifikasian atau kategorisasi dapat dilakukan oleh peneliti. Kategorisasi tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada infor¬man, dan kalau mungkin informan boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru klasifikasi informan ini yang lebih asli, dibanding peneliti.

5. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa¬fah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfa-atkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan  atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi manusia banyak menampilkan simbol yang bermakna, dan tugas peneliti adalah menemukan makna tersebut.
Prasetia (2007) menyebutkan tiga premis inte¬raksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya. Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Sebagai contoh, tentara berseragam, mobil polisi, tukang ojek, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain”. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre¬tasikan situasi.
Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (dalam Prasetia, 2007) menambahkan lagi tujuh proposisi yang terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya. Pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala.  Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial.  Ketiga, komunitas manusia merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Ke¬enam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.
Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks; (2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situ¬asi yang melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya; (6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.
Pemaknaan interaksi simbolik bisa melalui empat proses. Pertama, terjemahan (translation) yang dilakukan dengan cara mengalihbahasakan ungkapan penduduk asli menjadi tulisan. Kedua, aktivitas penafsiran yang dilakukan sesuai dengan  latar belakang atau konteksnya, sehingga terangkum konsep yang jelas. Ketiga, ekstrapolasi, yang menggunakan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji. Keempat, kegiatan pemaknaan, yang menuntut kemam¬puan integratif inderawi, daya pikir, dan akal budi peneliti. Pemaknaan sebaiknya tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan¬-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya. Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh.

6. Grounded Theory
Grounded theory termasuk ragam. atau model penelitian dasar yang ingin mencari rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah simpulan secara induktif yang digunakan untuk sebuah teori. Dalam kaitannya dengan budaya, grounded theory merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas dasar data berbentuk kenyataan Teori tersebut akan lebih mengakar pada budaya yang bersangkutan, karena lahir dari kebudayaan tersebut, dan kelak bisa dimanfaatkan ulang untuk kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, Grounded merupakan penelitian dasar yang diarahkan untuk: (a) mengembangkan kategori-kategori yang menjelaskan data, (b) “menjenuhkan” kategori dengan banyak kasus yang menunjukkan relevansinya, dan (c) mengembangkan kategori-kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum. Dilihat dari sisi ini, grounded theory merupakan pengembangan etnografi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian budaya kognitif
Melalui grounded theory, budaya dibiarkan berkembang sejalan dengan zamannya.  Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan kata lain, peneli¬tian budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian teori yang telah ada, melainkan menghimpun data untuk menciptakan teori. Jika ada hipotesis, bukan seperti hipotesis positivisme rasionalistik yang menghendaki pembuktian, melainkan lebih mengem¬bangkan hipotesis. Makna boleh berubah dan berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian akan ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai dengan kondisi setempat. Dan karena penemuan teori tersebut didasarkan pada data, bukan dari simpulan deduktif-logik, kemungkinan bagi ilmu untuk berkembang secara progresif menjadi besar.
Sampel pada penelitian grounded berbeda dengan sampel positivistik-statistik. Jika positivistik ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasarkan struktur populasi, grounded theory justru bertujuan untuk menemukan dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data. Karena itu, pemilihan sampel pada grounded theory mengarah pada kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama.
Data yang digunakan tidak terbatas pada wawancara dan pengamatan, melainkan bisa menggunakan bahan dokumen atau referensi yang relevan. Hal ini dilakukan agar kerja penelitian berlangsung efisien. Dari data tersebut akan dihasilkan sebuah teori subs¬tantif dan bukan teori formal (yang jangkauannya lebih luas meliputi sekian subtansi penelitian). Dalam kaitannya dengan budaya, grounded akan menemukan teori substansi (teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah substansi penelitian) budaya tertentu. Kendati demikian, grounded bukan tidak mungkin menghasilkan teori formal, namun proses menuju ke situ cukup pelan-pelan dan cermat. Yakni, manakala teori budaya tadi telah sahih berlaku pada salah satu substansi, kelak akan dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain, sampai menghasilkan teori formal.
Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded theory merupakan usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data secara sistematis dan intensif (sering kali¬mat demi kalimat) terhadap catatan lapangan, hasil wawancara, atau dokumen. Dengan perbandingan yang konstan, data yang terkumpul, diberi kode, lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik. Peneliti tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada masalah kategori. Mungkin setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah kategori yang tepat. Dalam proses pengkatego¬rian, kemungkinan besar lalu muncul kategori baru. Pada pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan kode. Kemudian memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan untuk menutup kesenjangan teori yang telah muncul.

Teknik Analisis Kajian Lintas Budaya
Mengingat bahwa kajian lintas budaya merupakan kajian yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur sejumlah kebudayaan maupun ucapan, sikap, tingkah laku berbagai individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda yang terlibat dalam interaksi sehari-hari, maka ’perbandingan’ merupakan teknik analisis utama dalam bidang penelitian ini. Gilliet (2005) menegaskan: ”To understand culture, societies must be compared.” Analisis perbandingan dalam bidang kajian lintas budaya dapat dibedakan ke dalam tiga jenis.
Pertama, perbandingan regional (regional comparison) yang dilkukan dengan terlebih dahulu mengklasifikasikan kebudayaan-kebudayaan yang dijaring. Setelah itu, ditarik kesimpulantentang proses bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu berdifusi menjadi sebuah wilayah kultural (cultural region). Teknik analisis ini berupaya melihat bagaimana berbagai kebudayaan saling berhubungan sebagai unit-unit kebudayaan yang menyeluruh (whole cultural units).
Kedua, analisis holocultural, atau analisis lintas budaya global (worldwide cross-cultural analysis). Teknik ini merupakan pengembangan  analisis yang diprakarsai oleh Tylor dan kemudian oleh Murdock. Levinson (dalam Gillies, 2005) menjelaskan bahwa analisis holocultural “is designed to test or develop a proposition through the statistical analysis of data on a sample of ten or more nonliterate societies from three or more geographical regions of the world”. Dalam pendekatanini, ciri-ciri kultural diambil darikonteks seluruh kebudayaan dan dibandingkan dengan ciri-ciri kultural yang relevan dalam kebudayaan-kebudayaan yang lebih luas untuk menentukan  pola-pola keteraturan dan perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan-kebudayaan yang diteliti.
Ketiga, analisis komparatif terkontrol (controlled comparative), yang dilakukan terhadap kajian perbandingan dengan skala yang lebih kecil. Menurut Eggan (dalam Gillies, 2005), kombinasi konsep antropologis tentang etnologi dengan struktur dan fungsi akan memungkinkan peneliti menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik dengan rentang subyek yang lebih luas.

Contoh Penelitian Lintas Budaya Terkini
Berikut ini adalah dua abstrak penelitian lintas budaya yang dikutip dari Poerwanto (2002). Kedua contoh penelitian ini diharapkan dapat mengkonkritkan beberapakonsepyang dijelaskan di atas.

Death: A Cross-Cultural Perspective
Phylis Palgi dan Henry Abramovitch (1984)

Kajian ini dilakukan untuk meneliti secara lintas budaya berbagai upacara penguburan yang dikaitkan dengan gagasan yang ada di balik upacara tersebut pada penduduk di Melanesia, Siberia Timur Laut, dan India. Berbagai pandangan evolusionis tentang kematian—seperti  kepercayaan tentang kehidupan lain setelah kematian, perbedaan jenis kelamin mendominasi upacara adapt penguburan—digunakan sebagai latar belakang.
Berdasarkan analisis perbandingan yang dilakukan terhadap konsepsi mengenai asal mula kematian, penyebab kematian seseorang, ketakutan terhadap arwah, perlakuan terhadap jenazah, hal-hal tabu selama masa berkabung, dan berbagai konsepsi lain, Palgi dan Abramovitch menemukan sejumlah persamaan maupun perbedaan diantara masyarakat-masyarakat subjek penelitian. Berdasarkan temuan-temuan berbentuk persamaan itu, kedua peneliti merumuskan beberapa hal yang universal tentang kematian.

The Origins of the Economic
F.L. Pryor (1984)
Kajian ini dilakukan untuk meneliti secara lintas budaya pandangan 60 kelompok masyarakat hal-halyang berkaitan dengan konsep ekonomi. Variabel yang diteliti antara lain hubungan permasalahan ekonomi dengan kelangkaan dan penyewaan tanah, intensitas modal dalam produksi, pasar, tenaga kerja terdidik, perbudakan, ketimpangan sosial, dan lain-lain.
Berdasarkan analisis perbandingan yang dilakukan terhadap konsepsi ke 60 kelompok masyarakat mengenai variable-variabel tersebut, Pryor menggeneralisasi beberapa hal yang universal tentang perekonomian.

Penutup
Dalam skala nasional, keanekaragaman suku bangsa di Indonesia merupakan aset pembangunan dan sekaligus potensi bagi pemunculan konflik. Untuk mencegah disintegrasi bangsa yang diakibatkan oleh keanekaragaman budaya tersebut, penelitian kajian lintas budaya bisa berkontribusi strategis. Data-data etnografi yang ada perlu dilengkapi dan dikemas sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh sebanyak mungkin warga negara. Jika suatu waktu timbul masalah yang dipicu oleh keragaman budaya, data tersebut mudah dicari dan dirujuk.
Dalam konteks global,  penelitian kajian lintas budaya juga berperan penting dalam membantu masyarakat memahami berbagai budaya bangsa lain. Pemahaman itu sangat dibutuhkan oleh pelajar, usahawan, pekerja, diplomat, dan warga Indonesia lainnya yang berinteraksi dengan warga bangsa lain dalam rangka mencegah kesalahpahaman dan konflik.

Daftar Pustaka
Aminudin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asih, Asah, Asuh.

Gillies, Judith L. 2005. “Cross-Cultural Analysis”. Diunduh pada tanggal 4 Oktober 2008 dari “http://jgillies@tenhoor.as.ua.edu
Home / FAQ. 2006. “Cultstud-L”. Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 dari “Home / FAQ. Journal.

Lewis, Hugh M. 2005. “Cross Cultural Researches, Political Economies and the Genders of Anthropologies” Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 dari “http: Cross Cultural .htm”

Poerwanto, Heri. 2002. “Analisis Komparasi Lintas Budaya”. Dipublikasikan dalam Jurnal Humaniora Vol.XIV, No.1 2002.

Prasetia, Teguh Iman.2007.”Interaksi Simbolik dan Cross-Cultural Studies” Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2008 dari http://prasetia/culturalstudies/17.htm

Simatupang, G.R. dan Lono Lastoro. 2006. “Cross-Cultural Studies”Makalah, disampaikan dalam Bengkel Kerja Budaya: Belajar Menulis Sejarah Sosial Masyarakat, kerjasama Lafadl dan Desantara, di SAV PUSKAT Sinduharjo, Sleman, 25 Juli 2006.

White, Douglas R. 2003. “Cross-Cultural Research: An Introduction for Students” Diunduh tanggal 8 Oktober 2008 dari “http://eclectic.ss.uci.edu/~drwhite/courses/ WCC03.html.”

Wikipedia.2008a. “Anthropology”. Diunduh pada tanggal 24 Oktober 2008 dari “http://en. wikipedia.org/wiki/Anthropology”

Wikipedia.2008b. “Cultural Anthropology”. Diunduh pada tanggal 26 Oktober 2008 dari “http://en. wikipedia.org/wiki/Cultural Anthropology”

Wikipedia.2008c. “Cross-Cultural Studies”. Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 dari “http://en. wikipedia.org/wiki/Cross-cultural_studies”

Wikipedia.2008d. “Cultural Studies”. 2008. Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 dari “http://en.wikipedia. org/wiki/Cultural_studies”

Wikipedia.2008e. “George Peter Murdock”. 2008. Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2008 dari “http://en.wikipedia. org/wiki/George Peter Murdock”

Wikipedia.2008f. “Centre for Contemporary Cultural Studies”. 2008. Diunduh pada tanggal 24 Oktober 2008 dari “http://en.wikipedia. org/wiki/Centre for Contemporary Study”

Ying Dong and Kun-Pyo Lee. 2008. “A Cross-Cultural Comparative Study of Users’ Perceptions of a Webpage: With a Focus on the Cognitive Styles of Chinese, Koreans and Americans.” Published in International Journal of Design Vol.2 No.2 2008. Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2008 dari http://www.ijdesign.org 30

Jakarta, 13 Oktober 2009

Leave a comment